Sidik, begitulah namanya. Sidik artinya adalah dapat dipercaya, ia terlahir tak memiliki kaki dari pangkal paha. Jadi anggota tubuhnya hanya separoh saja. Walau begitu tak lantas membuatnya minder. Ia malah membuktikan jika dirinya bisa survive tanpa harus menunggu belas kasihan orang lain.
Terlahir tanpa memiliki kaki, Sidik selalu menjawab “Alhamdulillah sejak lahir saya sudah begini” jika ditanya perihal cacat di tubuhnya. Sidik adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara. Keluarganya tergolong miskin dan untuk menghidupi keluarga, orangtua Sidik hanya mengandalkan warung kecil di depan rumahnya di Bogor.
Ketika akan melahirkan Sidik, Ibunya pernah mimpi bahwa ia akan melahirkan anak cacat. Namun anak cacat itu akan membawa berkah dalam keluarga. “Alhamdulillah, tak lama setelah saya lahir, kata almarhumah Ibu, Ayah saya langsung mendapat pekerjaan tetap, sehingga bisa membiayai pendidikan seluruh anak-anaknya hingga SMA.” kata Sidik di rumahnya yang sederhana di bilangan Cempaka Putih.
Sidik memang lahir dengan kondisi yang memprihatinkan, ia tak memiliki kedua kaki mulai dari pangkal paha. Sehingga boleh dibilang tubuhnya hanya separuh. Sebelum menggunakan kursi roda, ia mengayunkan dua tangan guna menyeret tubuhnya untuk berjalan.
Meski tubuhnya tak sempurna, sejak kecil Sidik tak pernah mau merepotkan orang. Ia selalu berusaha melakukan semua aktivitasnya sendiri. Ia juga tak mau dipapah atau digendong, “Saya tak mau dikasihani orang, saya ingin sukses bukan karena orang kasihan pada saya, tetapi karena kerja keras saya.” katanya lugas.
Pada tahun 1992, Sidik menikah dengan Siti Rahmah yang juga penyandang cacat. Dari perkawinan mereka lahirlah tiga anak perempuan yang sehat dan normal. Belakangan anak kedua mereka meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah bertahun-tahun bekerja di Yayasan Swa Prasidya Purna tapi tak menghasilkan materi berarti, Sidik memilih keluar dan mencari pekerjaan lain. Dengan bekal ijazah diplomanya, ia diterima di sebuah perusahaan kontraktor sebagai staf personalia. Tapi belum lama ia bekerja, krisis moneter 98 menghantam dan perusahaannya terpaksa tutup. Maka dimulailah periode Sidik menjadi pengangguran. Tapi ia tak mau lama-lama menganggur, Sidik mulai mengikuti berbagai kursus keterampilan yang diadakan oleh Pemda DKI untuk penyandang cacat. Salah satu kursus yang memikat perhatian Sidik ialah kursus membuat kerupuk dari singkong.
“Dari belasan orang peserta kursus, hanya saya satu-satunya orang yang masih bertahan membuat kerupuk sampai sekarang. Yang lain, tumbang.” ujar Sidik.
Modalnya ketika itu sumbangan dari Pemda DKI sebesar satu juta rupiah. Bersama istrinya Sidik kemudian memulai usaha membuat kerupuk dari singkong. “Dulu belum ada merek, plastiknya pembungkusnya masih polos.” katanya. Pada awal produksi ia memproduksi sekitar 100 bungkus kerupuk berukuran 2 ons dari bahan baku singkong 10 kilogram. “Namanya juga pertama, kerupuk dagangan saya baru habis setelah sebulan lebih.” katanya mengenang.
Prosesnya pembuatan kerupuk singkong terbilang lebih rumit dibanding membuat keripik singkong. Jika membuat keripik singkong cukup dengan memotong-motong batang singkong menjadi irisan tipis lalu digoreng dan selesai. Membuat kerupuk singkong prosesnya adalah singkong yang sudah dikupas kemudian diparut, parutan itu lalu dibuat menjadi adonan dengan mencampur berbagai bumbu rasa dan sedikit tepung. Setelah itu adonan dibentuk kembali menjadi seperti batang singkong dan dijemur. Setelah adonan sedikit liat, adonan kemudian diiris tipis-tipis. Irisan itu tidak langsung digoreng, tetapi kembali dijemur sekitar dua hari agar kering. Setelah kering, irisan kerupuk singkong baru digoreng.
Dari hanya mengolah 10 kilogram singkong, kini Sidik mengolah sedikitnya 50 hingga 100 kilogram singkong setiap bulannya. Ia juga sudah punya merek lengkap dengan cap di pembungkus produknya. “Saya beri nama merek Cap Gurame, ini sama sekali tak ada hubungannya sama ikan gurame, tetapi gurame adalah singkatan dari Gurih, Renyah, Enak,” katanya tersenyum. “Kalau nanti ada biaya, merek ini saya mau patenkan.” tambahnya.
Semua pekerjaan produksi dari mulai membeli singkong hingga memasarkannya ia kerjakan sendiri dibantu istrinya. Setiap hari ia keluar masuk kampung menawarkan kerupuk daganganya ke warung-warung atau koperasi-koperasi di kantor pemerintahan. “Saya menggunakan sistem konsinyasi atau titip jual, harga dari saya empat ribu, terserah mereka menjualnya berapa, tapi bisanya mereka jual lima ribu rupiah.” kata Sidik.
Dari usaha yang ditekuni sejak tahun 1999 ini, memang belum terlalu banyak menghasilkan materi. Sidik masih tinggal di gedung bekas tempatnya bekerja di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rumahnya pun hanya terdiri dari tiga petak yang disekat papan tripleks termasuk di dalamnya ruang produksi kerupuk “Cap gurame” tersebut.
Beruntung ada seorang pengusaha lokal yang melihat kegigihan Sidik dan akhirnya menyumbangkan sebuah sepeda motor untuk operasional usaha. “Namanya juga tidak punya kaki, saya sempat bingung juga, bagaimana mengendarainya?” Tapi Sidik tak kehilangan akal, ia mendesain motornya agar tuas perseneling dapat dioperasikan dengan tangan. Dengan bantuan tukang las, jadilah sebuah motor dengan tongkat besi tambahan yang ditempel di perseneling dan injakan rem. Tak lupa ia juga menempelkan gerobak disampingnya untuk mengangkut muatan. “Motor itu benar-benar membantu mobilitas dan produktivitas usaha saya.” ujar Sidik.
Saat ini Sidik terus mengembangkan pemasaran produknya, setiap hari ia masih berkeliling ke koperasi-koperasi atau warung di seluruh pelosok Ibukota. Bahkan saat Kabari mewancarainya, dua kali telepon selularnya berbunyi dari orang yang meminta agar pasokan kerupuk “Cap Gurame” segera dikirim.
Namun dalam menjalankan usahanya ini, Sidik juga mengalami berbagai kendala, seperti modal dan permintaan yang terbatas. “Saya ingin sekali mendapat tambahan modal, atau minimal ada orang yang mau menjadi mitra usaha untuk mengembangkan bisnis ini. Saya punya mimpi suatu saat kerupuk saya ini dimakan sama orang Amerika.” ujarnya.
Sidik juga mengaku kesulitan memasok produknya ke pasar modern seperti supermarket atau hipermaket. “Wah selain bentuknya mesti perseroan, mereka (para pengelola pasar modern-red) juga meminta deposit uang mas, jelas kalah sainganlah saya” kata Sidik lugas.
Kalau soal rasa, kerupuk “Cap Gurame” memang gurih dan renyah. Rasanya yang campuran pedas dan asin cocok dinikmati sebagai cemilan atau sebagai lauk.
Kini, dari hasil usahanya Sidik mengantungi keuntungan berkisar 1 sampai 2 juta rupiah perbulan. Meski jumlahnya kecil, apa yang diperbuat Sidik termasuk luar biasa. Dengan keadaan yang terbatas, ia menjadientrepreuner sejati. Meminjam rumusnya Pak Ciputra, pengusaha dan dosen mata kuliah enterpreunership,bahwa Indonesia membutuhkan sedikitnya 20 persen penduduknya menjadi entepreuner, barulah menjadi negara makmur, maka Sidik telah memulainya bertahun-tahun lalu. Jika benar apa kata Pak Ciputra, maka jelaslah Indonesia membutuhkan orang-orang gigih seperti Sidik.
0 comments:
Post a Comment